Minggu, 04 September 2016

Kancil dan Burung Puyuh


Kancil dan burung puyuh. Pak Congkak adalah pedagang kayu yang sombong. Ia dibenci penduduk yang tinggal didesanya. Bahkan binatang yang hidup disekitarnya pun membencinya. Pada setiap pertemuan diantara binatang itu, mereka sering membicarakan kesombongan Pak Congkak. Burung puyuh pun sudah merasakan pernah dilempari pada saat hinggap pada pekarangan Pak Congkak. Kayu kopi pun mengadukan nasibnya. “perhatikanlah badanku ini bengkak-bengkak dan lecet-lecet akibat tali tambat kambing Pak Congkak. “Kita harus cari teman untuk membalas dendam kita pada Pak Congkak. Kata Puyuh. Mereka pun mencari sahabat yang bisa membantu dan juga tinggal disekitar mereka. Tidak berapa lama mereka bisa menemukan Kancil yang terkenal cerdik. Mereka akan membuat siasat yang jitu untuk menghadapi Pak Congkak. Tetapi kancil merasa bahwa dia tidak dapat melakukannya sendiri. “Aku hanya punya siasat, kita butuh bantuan dari yang lain” kata Kancil. Melihat ada tanggapan positif dari Kancil, maka Puyuh pun semakin bersemangat sambil berkata.” Nah...kalau begitu, kita cari satu teman lagi yang bisa membantu kita!” Mereka berjalan-jalan hingga akhirnya bertemu Napal yaitu seonggok tanah liat yang sangat licin. Napal biasanya ada disekitar hutan-hutan atau bukit bukit yang terlindung. Merekapun langsung mempersiapkan siasat yang jitu untuk menghadapi Pak Congkak agar tidak sombong lagi. Pada suatu malam ketika Pak Congkak sedang tidur pulas, empat sekawan itu telah beraksi dan melakukan perhitungan kepada dia. Ada yang masuk menyelinap ada juga yang tetap tinggal diluar dirumah. Mereka melakukan tugas masing-masing sesuai dengan rencana semula. Yang pertama masuk adalah Kayu Kopi. Pak Congkak kaget sekali karena ada yang mengetuk rumahnya pada malam hari. “Ada maling!”, pikirnya dalam hati. Pak Congkak pun segera bangun dari tidurnya. Ia Khawatir bila ada yang membawa dagangannya atau merusak rumahnya. Perlahan ia menuju pintu. Tapi setelah tiba di pintu depan ia tidak melihat apa-apa. Ia segera turun dari tangga menuju dapur mau mencari korek api. Ketika kakinya menginjak tangga, ia pun menginjak seonggok napal licin dan membuatnya tergelincir hingga jatuh ketanah. Mana mungkin pikir Pak Congkak. Dia tidak menduga ada napal licin ditangga rumahnya. Walaupun tangga itu tak begitu tinggi. Namun dibawah tangga ada batu-batuan yang langsung menghantam dadanya. Rasanya seperti dihajar habis-habisan. “Aduh...”Pak Congkak berteriak keras sekali. “Kejadian itu mengejutkan Kancil yang dari tadi menunggu giliran untuk melampiaskan dendam kepada pak Congkak. Dalam keadaan gelap gulita mata Kancil bisa menembus suasana malam dengan jelas. Segera ia menerjang mata kanan Pak Congkak. Pak Congkak pun menjerit-jerit kesakitan. Ia pun benar-benar geram. Tetapi dia tidak putus asa dan tetap berusaha merangkak mendekati dapur. Tujuannya ingin mencari korek api untuk menyalakan lampu. Bila suasana terang dia bisa melihat siapa lawannya. Didapur telah menunggu si Burung Puyuh. Ketika tangannya hendak menggapai korek api, tiba-tiba si Burung Puyuh mengepak-kepakkan sayapnya sehingga abu dapur memenuhi ruangan. Mata kiri Pak Congkak kemasukan debu. Pak Congkak tidak bisa melihat dengan jelas lagi. Ia berlari kesana-kemari sambil berteriak kesakitan. Dia ingin lekas menuju tangga dan berlindung didalam rumahnya. Tetapi sepasang matanya tidak bisa melihat lagi. Maka ia pun menabrak apa saja. Maka Pak Congkak pun makin panik. Sepasang matanya sangat pedih dan berair. Sambil menahan rasa sakit, dia berusaha menggapai tangga sekalipun badannya sudah terasa remuk karena jatuh tergelincir dari tangga rumahnya. Satu tangga pun bisa di raihnya dan mulai merasa lega. Ia menahan nafas. Dua anak tangga dia lewati dan ketika kakinya mau menaiki tangga ketiga, tiba-tiba sebuah pukulan keras dan berat bersarang pada dudukannya. Pak Congkak tidak tahu kalau dari tadi ada Kayu kopi menunggu dia duduk ditangga itu. Kayu kopi itulah yang memukulnya. Ia lalu jatuh ketanah lagi, kepalanya terantuk hingga berdarah. Ketika ia ambruk ketanah iapun meninggal. Matilah Pak Congkak. Kayu Kopi kemudian memanggil teman-temannya untuk berunding mengenai kematian Pak Congkak. Sebab Pak Congkak tidak memiliki keturunan atau ahli waris yang akan menjaga dan mewarisi hartanya. Keesokan harinya mereka bersepakat dengan masyarakat sekitar dan bersepakat untuk mengadakan pertemuan di rumah Pak Congkak. Satu persatu warga setempat datang dan ingin membuktikan kalau orang pelit dan kikir itu sudah mati. Mereka semua mengambil pelajaran hidup dari kejadian tersebut. Setelah mereka berkumpul maka hasil rapat adalah menguburkan Pak Congkak sebagaimana mestinya. Setelah itu barulah memikirkan soal harta Pak Congkak yang disepakati akan dibagikan kepada orang yang berjasa buat kampung mereka dan akan membantu orang kampung yang tidak mampu. Sejak saat itu warga menjadi lebih tentram karena semua warga menjadi hidup rukun dan saling tolong menolong. Tidak ada lagi yang sombong dan yang kikir dikampung mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar